Friday, June 8, 2007

BASIC INSTINCT

Di Surau, Perubahan Berhulu

15 Februari 1920

Hari ini, di Padang Panjang, Sumatera Thawalib resmi berdiri. Sumatera Thawalib sendiri merupakan evolusi lebih lanjut dari Sumatera Thuwailib yang awalnya lebih berbentuk seperti sebuah koperasi.

Cikal Sumatera Thawalib bermuasal dari sebuah surau sederhana di daerah Jembatan Besi. Ketika sejumlah ulama yang baru pulang dar Mekkah menangani surau (Haji Abadullah Ahmad dan Haji Abdul Karim Amrullah), dinamisme dengan segera saja mengalir. Tak selang berapa lama, berdirilah sekolah Thawalib yang bahkan sudah memraktikkan metode kelas, kendati siswanya masih duduk di lantai.

Sastrawan dan ulama Buya Hamka, putra Haji Badul Karim Amrullah dan salah seorang alumnus sekolah Thawalib, memberi kesaksian bagaimana disiplinnya sekolah Thawalib. (Semua) disuruh menghapal Hadits Empat Puluh, kata Hamka, ”Dan siapa tidak hapal akan dihukum: berdiri lama-lama.”

Pada 1915, pada rapat di Padang Panjang, seorang bernama Bagindo Djamaluddin Rasjid mengenalkan arti penting berorganisasi secara lebih sistematis. Kendati bukan seorang ulama, namun wawasannya yang luas sebagai konsekuensi perantauannya ke Eropa, membuat Rasjid tetap menangguk respek. Ceramahnya ihwal organisasi menyentuh hati dan nalar para ulama dan murid senior sekolah Thawalib untuk sesegera mungkin memercepat modernisasi.
Ulama menjadi aktor sejarah yang berperan sebagai konduktor yang memimpin orkestra perubahan. Karena ulama adalah konduktor, maka pentas perubahan itu tak digelar di kamar bola atau puri-prui Kraton, tapi di surau.
Dari sanalah muncul model koperasi yang memasok barang-barang kebutuhan para murid sekolah, yang terus berkembang dengan menyediakan kursus-kursus keterampilan yang tak ada hubungannya dengan fiqh dan nahwu sharaf. Keuntungan dari amal usaha itu disisihkan untuk menunjang kehidupan sekolah dan para guru. Dari perkumpulan usaha sekolah Thawalib inilah Sumatera Thuwailib lahir.

Percakapan dan korespondensi yang intens antara ulama dan eksponen Sumatera Thuwailib dengan kelompok ulama Parabek yang bernaung dalam Muzakaratul Ikhwan inilah akhirnya mengubah Sumatera Thuwailib menjadi Sumataera Thawalib.

Politik praktis baru benar-benar muncul sewaktu pengaruh komunisme masuk lewat Datuk Batuah, seorang pengajar yang baru pulang dari Jawa. Perpecahan pun mencuat antara para ulama pembaharu yang memelopori sekolah Thawalib dengan para pemimpin komunis yang mulai banyak menangguk pengaruh dan pengikut. Keadaan menjadi tenang menyusul penangkapan semua orang yang disangka terlibat komunis oleh pemerintah kolonial menyusul perlawanan bersenjata yang gagal di Silungkang pada 1926.

Akan tetapi, aroma politik tak bisa sepenuhnya dienyahkan. Pada 1930, Sumatera Thawalib secara resmi menjadi partai politik bernama Persatuan Muslimin Indonesa (Permi). Permi mewariskan satu perspektif politik yang mencoba menjembatani aliran nasionalis (misal: PNI) dan Islam (misal: Persis). Permi mengkritik partai-partai nasionalis yang mengambil model gerakan nasionalis India dan cenderung enggan mengakui Islam sebagai faktor pemersatu dalam perjuangan kemerdekaan. Tapi Permi juga kerap bertentangan dengan partai-partai Islam yang cenderung hanya mendasarkan diri pada satu paham saja, seakan-akan Hindia-Belanda hanya terdiri dari orang-orang Islam.

Berbeda dengan Jawa, di Sumatera Barat, ulama adalah creative minority, bukan para bangsawan yang tercerahkan. Ulama menjadi aktor sejarah yang berperan sebagai konduktor yang memimpin orkestra perubahan. Karena ulama adalah konduktor, maka pentas perubahan itu tak digelar di kamar bola atau puri-prui Kraton, tapi di surau.

Dalam kasus Sumatera Barat, surau tak sekadar tempat ibadat. Surau punya kapasitas sebagai sebuah instusi kebudayaan yang dari sana, anak-anak kecil yang tiap hari menetap di sana bergulat dengan lingkungan dan dirinya sendiri. Surau adalah tempat belajar, tak ubahnya kawah candradimuka. Anak-anak kita kini kehilangan surau-suraunya, ruang publik yang memungkinkan mereka belajar mengena dan bergulat dengan lingkunganmnya, tanpa harus mernauhi perayaan permainan sebagai bagian dari kodrat dan ruh mereka sebagai anak-anak (bermain).
  • Sumber : Jurnal Republik - Taufik Rahzen